ANDAI AKU MENJADI ORANG LAIN



ANDAI AKU MENJADI ORANG LAIN
Kapt. Vaizen 2014

Dia masih saja sibuk dengan buku novelnya. Gila, bahkan saat aku sengaja melempar bola basket yang tepat mengenai kepala plus rambut kritingnya itu dia masih tak bergeming. Tak hanya aku yang heran, tapi juga Fika. Lebih parah lagi, Fika melempar kemasan susu kotak yang tepat mengenai wajah berkacamata itu. Namun seperti yang kuduga sebelumnya, dia masih tak memicingkan mata untuk melihat siapa yang tengah mengusiknya.
“Dasar budak fiksi” Umpatku dalam hati.
Secepat Road Runner aku dan Fika saling pandang, saling tersenyum tipis yang tersirat tanya
“Yang seperti itu sahabat siapa?” Lantas dua detik kemudian aku memalingkan muka ke arah laki-laki berkacamata itu sebagai isyarat untuk Fika agar mengejarnya, tak untuk minta maaf, tapi untuk mengganggunya lebih sadis lagi.
Yah. itulah Ogus, sahabat sekumpulan buku fiksi, sahabat dunia sepi, sahabat kaum indispliner, amburadul dan kaum penganut keyakinan “Imajinasi lebih penting dari pada ilmu pengetahuan” Dialah sahabat kami, sahabatku dan Fika.
***
Semuanya terjalin tiga tahun lalu, saat Ospek di kampus sedang berlangsung. Aku dengan intonasi suara yang tinggi membantah panitia yang mengatakan bahwa kedisplinan, kerapian dan kepatuhan harus ditegakkan. Satu hal lagi yang paling penting rambut harus dipotong tipe 2-2-1. Aku tak ambil pusing instruksi tersebut, aku tak peduli mau panitia, mau dosen, bahkan rektor sekalipun yang mengintruksikan, aku tetap tidak akan mau memotong rambutku.
Hanya aku, dari sedikitnya dua ribu peserta Ospek hanya aku yang tak setuju, atau mungkin juga ada yang lain tapi, terlalu pengecut untuk mengungkapkan. Saat ditanya alasan, aku mengatakan hal sederhana “Lihat Cak Nun, Sujiwo Tejo, Iwan Fals, Duta Sheila O7, Kaka Slank, mereka semua tak berambut 2-2-1 bahkan gondrong, tapi mereka bisa berkarya, mereka tidak rapi dalam berpenampilan, tapi banyak yang suka, bahkan Iwan Fals dan Kaka semasa mudanya sering konser tanpa memakai baju dan memakai celana robek, tapi mereka tetap bisa diterima. Aku melanjutkan pawai alasanku lagi “Mau disiplin seperti Polisi yang telah memberondong mahasiswa dengan peluru karena menuntut reformasi ? Atau mau rapi seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang suka kucing-kucingan sama Komisi Pemberantas Korupsi ? “
            Semua panitia terdiam, entah karena alasanku masuk akal atau panitia sengaja diam  karena telah menyiapkan hukuman berat untukku. Satu kalimat lagi “Aku tak peduli” ucapku dalam hati. Hukuman menurutku adalah suatu keharusan, karena kita tak akan tahu nikmatnya ganjaran sebelum tahu sakitnya hukuman. Masalah benar atau salah asumsiku ini, biarlah alam yang akan membuktikan. Jika aku salah maka aku akan terlaknat, jika aku benar maka aku akan menampa nikmat.
Tak lama berselang pasca ocehanku tadi, seorang laki-laki peserta OPAK yang berambut kriting dan mengenakan kacamata ber Frame coklat serta secarik kertas ditangannya berdiri, lalu membacakan puisi;
Kami menangis tanpa air mata
Kami bahagia tanpa ada tawa
Kami hidup tanpa jiwa
Hingga kami mati
Di sini
Tanah air mu
Tanah air ku juga
Tanah kita bersama
Lalu dengan nada mulai meninggi laki-laki itu berucap;
            Persetan dengan idealismemu
            Persetan dengan aturanmu
            Persetan dengan aparaturmu
Aku hanya butuh tak lebih dari sepersepuluh ruangmu
            Tuk tampung air mata, tawa, jiwa dan rasa kecewa ku
            Pada konstitusimu bukan konstitusiku

            Aku tak begitu paham dengan puisinya tadi, tapi aku suka, karena sepertinya dia memihak padaku. Dialah Ogus atau lebih tepatnya August comte. Nama yang kholfal ‘adat  bagi orang indonesia pribumi. Nama sama dengan Bapak Sosiologi dunia yang aku kagumi. Mungkin ayah atau ibu Ogus adalah Sarjana Sosiologi yang juga ngefans pada Bapak Sosiologi itu, sehingga menamakan anak mereka dengan nama yang sama pada tokoh idolanya.  Selang lima detik kemudian perempuan berambut panjang bergelombang, mungkin jika ditarik garis lurus memiliki panjang tiga puluh lima centimeter juga berdiri, seperti saat Ogus berdiri tadi, sedikitnya dua ribu pasang mata menatapnya. Perempuan itu tertawa keras, lalu menangis tersedu-sedu, lalu marah-marah, lalu Tanpa sekapur sirih dia tersenyum padaku dan pada Ogus. Aku semakin tak mengerti dengan orang-orang ini. Tapi siapa peduli, aku suka hal yang dilakukannya, karena sepertinya dia juga memihak padaku. Dialah Benfica atau yang biasa kami panggil Fika. Lucu, namanya sama seperti klub sepak bola. Gila. Kupikir aku satu-satunya orang tak waras disini tapi ternyata ada jiwa-jiwa lain yang lebih sakit kronis lagi. Dalam bingung, bersemai rasa senang menemukan orang-orang seperti mereka berdua. Inilah duniaku, serba terbalik. Aku senang saat menjadi gila yang oleh ummnya orang seharusnya duka. Yah. Terkadang semua hal  menjadi terbalik ketika titik klimaks telah terjadi. Bisa kurasakan saat menerima surat kelulusanku saat SMA. Aku senang, kami semua senang, tapi kami tidak tertawa bahagia tapi menangis bahagia. Kami menangis. Bukankah ini terbalik kawan ?  
            Itulah saat pertama kali aku mengenal Ogus dan Fika. Dua orang dengan kegilaan yang luar biasa, atau sekarang lebih tepatnya tiga orang dengan kegilaan akut pada imajinasi, logika  dan sastra atau yang lebih tepatnya lagi pada seni.
 Kawan ! Aku ingat saat tampil  dalam acara Evening Art di kampus dua bulan lalu. Acara tahunan yang cukup besar, dihadiri Petinggi kampus dan Budayawan kota Salatiga. Kami  selaku petinggi Gerakan  Pecinta Imajinasi (GPI) kampus disuruh tampil pertama.
“Terserah mau menampilkan apa yang penting memiliki nilai Seni dan Nasionalisme, syukur kalau bisa disisipi nilai Religiusitas“  kata ketua pelaksana pada kami.
Lucunya hingga H-2 tak ada rapat apapun untuk membuat konsep. Ogus dan Fika juga belasan anggota GPI pun tak pernah sedikitpun menyinggung hal ini. Pikirku mungkin mereka sudah membuat konsep, mereka tak memberi tahu mungkin takut menggangku. Memang minggu ini aku sedang sibuk menyiapkan silabus pelajaran untuk siswa di tempat PPL ku.
Sebenarnya di GPI sendiri tak ada Pimpinan Umum/PU yang tetap. Kadang yang mimpin Ogus, kadang Fika, kadang aku. Seolah kami bertiga adalah raja dan ratunya. Seperti di Narnia saja, ada dua orang raja dan dua orang ratu yaitu, Peter, Edmund, Suzan dan lucy.
H-1 aku masih berfikir bahwa Ogus dan Fika telah membuat konsep super, mereka sengaja mendiamkanku karena ingin membuatku sureprice saat aku menyaksikan penampilan mereka di panggung nanti.  Aku tersenyum membayangkan hal gila apa yang akan mereka tampilkan nanti.
Hari H, tiga jam sebelum acara mulai. Ogus nyeletuk
“Han ! Jangan pelit donk ! Kasih tahu aku tentang konsep yang akan kita tampilkan nanti !”
Aku tersentak mendengar pertanyaan Ogus. Aku balik bertanya
“Lho, bukanya kamu yang ngonsep Gus?
Ogus memasang raut seperti saat aku mendengar pertanyaanya tadi, kurasa dia juga terkejut mendengar pertanyaanku.
”Gawat ini. Eh, mungkin Fika membuat konsep ”ayo cari dia !” Seru Ogus sembari beranjak dari meja sanggar. Belum sempat kami keluar sanggar, Fika datang dan duduk di singgasanaku. Setelah menyerutup es air tawar milikku dia menanyakan apakah aku sudah membuat konsep untuk penampilan GPI nanti malam.  Aku dan Ogus saling pandang, seolah berkata “Mampus kita”. Fika penasaran karena kami hanya diam dan saling pandang. Fika ikut memandang kami, kali ini ada tiga pasang mata yang saling pandang. Lagi-lagi terjadi penyampaian kata-kata yang tersirat dari pandangan kami.  Aku tersenyum, Ogus tertawa kecil, dan tangan Fika menutup mulut untuk menahan semacam ledakan dari perutnya. Tiga detik kemudian kami ngakak bersama-sama.  
Tapi bukan petinggi GPI namanya jika tak punya segudang ide cemerlang. Malam itu kami berhasil membuat penonton berdecak kagum, tepuk tangan meriah dari penonton adalah apresiasi terbesar dan indikator bahwa kami menampilkan hal yang  luar biasa.
Kawan ! Tahukah  kalian apa yang kami tampilkan malam itu?. Malam itu salah seorang dari anggota GPI (bukan petinggi) aku suruh berpakaian putih, kusuruh dia berdiri, mematung di atas panggung, tak sekecap katapun kuperkenankan untuk diucapkan. Diam, menyaingi diamya si bisu. Sunyi menyaingi sunyinya si tuli, kaku menyainggi kakunya si mati. Akupun tak menyampaikan maksud dari penampilan tadi pada penonton bahkan pada anggota GPI termasuk Ogus dan Fika, tapi anehnya penonton bersorak, tepuk tangan menggema memenuhi tiap sudut Aula ketika aktor yang bukan petinggi tadi turun. Seolah mereka paham apa yang barusan mereka saksikan.

Pukul 00.30 setelah acara selesai, aku ditanya oleh semua anggota GPI, bahkan Ogus dan Fika pun tak paham dengan konsepku.
Dengan sedikit senyum aku mengatakatakan “Baiklah kawan-kawan. Jadi, penampilan malam itu aku bebaskan penonton untuk membuat penafsiran sendiri. Kata ketua pelaksana tadi, kita sisipkan amanat Nasionalisme, kesenian dan Religiusitas. Nah, Jika penonton religius dia akan menangkap pesan” Kholwat /Diam”nya itu seorang sufi yang ingin semakin menyatu dengan tuhan yang tak pernah terdengar berkata tapi bias dirasa. Jika penonton Nasionalis dia akan menangkap pesan “Diam” sebagai simbolisasi dari oknum pemimpin Negeri saat ini yang tak berkutik, yang diam melihat krisis sosial yang menimpa rakyatnya. Jika penonton dengan jiwa sastra, maka dia akan menangkap pesan “Diam” sebagai manifestasi dari ketenangan jiwa yang telah menyatu dengan tanah, dengan udara, dengan air dan dengan api (Alam raya) yang tak pernah berkeluh kesah, hanya diam tapi memberi jutaan kehidupan.
Tak ada suara untuk beberapa detik setelah aku selesai ngoceh tadi. Beberapa anggota nampak ngangguk dan beberapa lagi masih loading pemahaman. Aku tersenyum melihat ekspresi-ekspresi mereka. Aku berdecak saat melihat deras aliran air dari mata kedua sahabatku. Sialnya aku terbawa oleh aliran itu, air matakupun seolah tak mau ketinggalan beraksi, mengalir bagai gletser yang tengah mencair, mengalir membasahi gundukan empuk kecoklatan. Pipiku.  Tanpa kode apapun mereka berdua mendekatiku dan mendekapku erat. Sangat erat sampai aku sulit untuk bernafas, tapi siapa peduli dengan nafas jika kau bisa merasakan kedamaian tanpa nafas itu.
Dalam hati aku berucap Terima kasih tuhan, engkau telah memberikan duniaku beserta orang-orangku. Hah, jika saja waktu OPAK aku berubah menjadi orang lain dengan pura-pura patuh pada panitia, aku pasti tak akan menemukan mereka berdua. Untungnya aku setia dengan jati diriku, dengan diriku yang sebenarnya sehingga aku menemukan mereka dengan diri mereka yang juga sebenarnya. Tak ada topeng, gamblang, secerah mentari di pagi hari tak berawan. Dalam dekapan, kami menghilang dari dunia nyata. Berteleportasi menuju dunia yang kami ciptakan sendiri. Ma’afkan kami Tuhan. Bukannya tak puas dengan duniamu tapi kami hanya memaksimalkan apa yang telah kau ciptakan pada kami. Imajinasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Prakerin Peksos

Review Pemberontakan Petani Banten tahun 1888

INSTRUMEN WAWANCARA (ASESSMENT)