KETAM WARNA BIRU



Hasil gambar untuk ketam biruLangit kala berbalut cahaya senja, bunyi berisik ombak memekak, seperti angkuh menghantam apapun diselasar pantai membuat ciut nyali para pelaut. Pria bernama Kalil itu merasa bahwa sore itu kehidupannya terasa lebih damai dan nyamaaan sekali. Tak harap beranjak barang sejengkal tangan sekalipun. Di tepian pantai itu Kalil tak mampu berbicara apapun. Dia diam dengan tubuh yang merebah dan menengadah ke angkasa. Binatang-binatang nokturnal mulai berlari kesana-kesini mencari rizki. Saat semua camar mulai meneduh dan Kedidi Putih menepi, justru si mungil warna biru tengah memulai langkah untuk berburu. menyusur pantai mencari sisa-sisa, jika beruntung dia akan mendapatkan udang kecil untuk santap malamnya. Kalil mengamati ketam itu dengan tatapan hampa, namun ternayata hatinya merasa bahwa kehidupan sederhana Ketam itu sangat indah. Tak terkait rasa malu bahkan gengsi dalam mencari rizki. Perenungan itu membawa Kalil tak sadar jika ketam itu tengah mennggali-gali celah di dekat rambut ikalnya. 
Air mulai pasang namun Kalil tetap tak beranjak dari tempat semulanya. Tubuhnya menggigil dan kaku serta lidahnya kelu. Bahkan sepatah kata pun dia tidak mampu. Yang bisa digunakan Kalil dipenghujung hari itu hanyalah pikiran dan jiwanya. Entah sejak kapan, tapi ingatan-ingatan masa lalu hadir dalam benaknya. Kalil mulai membayangkan wajah ibunya yang telah tiada. Satu demi satu gambar itu muncul. Tergambar jelas di benak Kalil sosok ibu yang bersiap berangkat kerja seperti biasa. Ibu selalu bangun dini hari untuk mencuci pakaian tetangga. Usaha laundry yang ibu geluti memang mampu membantu ekonomi namun membuat letih. padahal pagi hari harus berangkat ke pabrik. Rutinitas tanpa ada kata malas. Tersirat sesal yang mendalam di diri Kalil yang tidak sempat membalas kebaikan ibunya dengan sebuah kebahagiaan. Satu demi satu air mata Kalil menitih pada pasir. Tiba-tiba raut muka ayah tiba. Nampak tua dan keriput dengan jenggot dan rambut penuh uban. Ayah Kalil seorang yang taat beribadah. Namun tidak lupa dengan tanggungjawabnya mencari nafkah berbekal sebidang sawah. Nampak semakin meredup Kalil seolah melihat ayahnya pergi ke sawah, berjalan tanpa alas kaki, mengenakan kaos partai gratisan dan cangkul andalan. Pedih hati Kalil saat tiba gambar ayahnya kepanasan sambil mengibaskan caping di pematang sawah. Pada saat yang sama Kalil mengutuk para tengkulak padi yang dengan seenaknya memainkan harga seolah tidak menghargai jasa ayah dan para petani lain di desanya. Tidak lantas berhenti. Ingatan-ingatan itu membawa Kalil pada sosok adik perempuannya. Khilma. Si cerdas yang egois begitu Kalil menyebutnya karena selalu rangking satu, tapi jika sudah nonton televisi tak ada orang lain yang berhak atas remot selain dirinya. Saat mengingat adik perempuannya itu Kalil nampak senyum dan terhibur.
Terdengar bunyi "Byuur" ombak saat Kalil tengah membayangkan sang perempuan dambaan. Alefa. Perempuan desa sederhana, yang diperebutkan banyak lelalki di kampungnya. Namun janji  setia menanti terujar ikhlas dari bibir tipisnya itu. Belum sempat membayangkan kenangan lebih banyak bersama Alefa muncul ombal kecil yang secara tiba-tiba menampar wajah Kalil selaras membuat lamunannya buyar. Gambaran wajah orang-orang yang dikasihinya itu lenyap terbawa ombak yang kembali ke tengah lautan. Lalu ingatan naas malam itu muncul. Malam itu Kalil sedang berada di Feri dari Ketapang menuju Gilimanuk, Bali. Malam sunyi itu di pecah dengan suara ledakan dari ruang mesin kemudian nampak para penumpang dan awak kapal berlarian berteriak meminta pertolongan yang menggaduhkan seisi kabin. Tidak berselang lama geladak kapal telah di penuhi penumpang yang siap melompat ke laut, mereka tidak peduli dengan ombak yang sedang tinggi. Kalil masih tidak mengerti apa yang terjadi tapi nalurinya  mengatakan agar dia juga secepatnya meninggalkan kapal. Tepat setelah Kalil memakai pelampung dan bersiap melompat tiba-tiba "Boom" ledakan besar terjadi di ruang mesin dan melubangi lambung kapal sehingga membuat kapal tenggelam lebih cepat. Malam itu Kalil berhasil melompat dari kapal sebelum sepenuhnya tenggelam. Bersama dengan penumpang yang lain terombang-ambing tanpa arah, pasrah dengan apapun yang akan terjadi setelahnya. Tergulung ombak semalaman membuat Kalil letih dan tak kuasa berenang. Pagi itu Kalil pingsan dan saat tersadar dia sudah berada di Pantai Pulau Kalong sebelah utara Gilimanuk. Tubuhnya dehidrasi dan mengalami hipotermia. Kalil hampir mati. Kalil merasa ini adalah akhir dari riwayat hidupnya. Semua penyesalan menumpuk. Tidak disangka perjalanan Kalil untuk bekerja ternyata berakhir tragis. Kalil menangis kuat-kuat sebagai pelampiasan terakhirnya. suaranya kencang sekali sampai mebuat terkejut seisi kelas yang sedang mengerjakan ujian tengah semester. Ternyata hanya mimpi belaka. Suasana horor ujian menjadi gaduh penuh tawa berkat mimpi Kalil.
Setelah bullyan dan marah dari guru Kalil tidak bersedih ataupun murung sedikitpun. Justru dia lega, karena derita tadi hanyalah mimpi. Alefa yang duduk di belakang Kalil dengan wajah panik segera mendatangi Kalil untuk memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja. Seusai ujian Alefa menemaninya pulang kerumah karena setelah kejadian tadi Kalil masih bersikap aneh. sesampainya di depan rumah Kalil menjumpai ayah dan ibu sedang mengobrol diteras rumah sambil menyiapkan perlengkapan Khilma yang bersiap berangkat ke madrasah. Dengan hati lega dan mata berkaca-kaca Kalil bergegas menghampiri keluarganya. Alefa pun ikut larut dalam obrolan keluarga siang itu. Suasana yang menyejukkan, terlihat indah dan harmonis dalam kesederhanaan. Di suasan nyaman itu diam-diam hati yang paling dalam Kalil mengucap syukur yang luar bisa kepada sang pencipta atas segala kebahagiaan yang melekat di cerita hidupnya.  

                                                                                                Salatiga, Kantor DEMA I, 1 April’16

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Prakerin Peksos

Review Pemberontakan Petani Banten tahun 1888

INSTRUMEN WAWANCARA (ASESSMENT)