SENJA MEREKAM


                                                                           SENJA MEREKAM
Gambar terkaitSenja kala itu tak ubahnya dengan senja-senja yang telah lalu, sinar ke-emasan surya mulai lenyap dan kembali menyisakan  kisah untuk diceritakan ke-esokan harinya. Kutilang itu pun tak ubahnya dengan merpati yang kian merapat ke sarang, tuk menyambut dan menikmati gelap bersama induknya. Bersama, saling menjaga dalam peraduan. Hmmm, indah, bahkan sangat indah Tuhan membuat skenario semacam ini, skenario yang tak semua  hambanya bisa memerankannya.
Aku masih terdiam, memandang kilau keemasan senja yang kian redup, lalu menghilang. Seperi diriku empat tahun lalu, meredup lalu menghilang. Hanya saja surya masih bisa berjanji untuk kembali keesokan hari, sedangkan aku tak bisa menjanjikan apa-apa.   Dalam senja aku masih saja terdiam.
“Kang Ichal..?” seru seorang anak kecil yang melintas membuyarkan lamunanku. Dengan  balutan mukena yang menutupi rambut dan sebagian wajah serta  kitab suci yang ia dekapkan didadanya, dia melambai dan menyalami tanganku. Aku terperanjat, butuh beberapa saat untuk kusadari bahwa yang menyapa dan menyalamiku adalah Dinda, salah seorang muridku dulu di TPQ Dar al Qur’ani as Salafi. Senyum Dinda itu soelah menjadi portal bagiku mengingat masa-masa itu, masa dimana prinsip sami’na wa atho’na   masih melekat di jiwa, masa dimana al Fiyah menjadi mantra khas menjelang senja, masa dimana Idealisme beragama masih terjaga, masa dimana ringan  bermunajat disetiap tengah malamnya, masa dimana Syaikh Taqiyuddin ad Dimasyqi menjadi idola, dan tentu saja masa  aku mulai jajaki hidup dengan kata cinta.
 “Dinda ya..?”  sapaku balik sambil tersenyum yang tak kalah manis dengan senyum Dinda. “Mau berangkat ngaji ya Din..?”
“iya kang !, kang Ichal selama ini kemana saja, sekarang ko’ jarang mengajar Dinda dan temen-temen ?”.
Ah, pertanyaan dari wajah Innocence itu membuatku tak kuasa menahan gemuruh hati, Dinda masih terlalu kecil saat itu untuk mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya padaku di Pesantren Dar al Qur’ani as-Salafi. Ahirnya  beberapa saat setelah kuberi penjelasan dusta, Dinda pun pergi. Kupikir sedikit dusta tak akan menjadi masalah untuk anak seusia Dinda sekarang, apalagi untuk masalah ini.
Aku kembali menatap redup sang surya kala sosok Dinda mulai lenyap ditelan kerumunan para santri, kini giliran hatiku yang bertanya, tapi aku tak bisa berdusta untuk penanya yang satu ini, aku hanya bisa diam dan sedikit membiarkan mataku basah dalam artian yang berbeda.
Kali ini apakah aku sudah benar-benar siap untuk melihat semua yang telah aku tinggalkan selama empat tahun ini, apakah aku benar-benar siap dengan berondongan pertanyaan yang tertuju padaku jika aku menampakkan diriku di tempat itu, apakah aku benar-benar siap untuk melihatnya, suami dan anak-anaknya tertawa bahagia. Aku mulai ragu, tapi tidak, aku harus tetap ke tempat itu, aku tak peduli lagi dengan peristiwa empat tahun lalu itu, aku sudah tidak bisa menahan gejolak rinduku pada sahabat-sahabat santriku, pada kitab al Fiyah ku, pada Qur’an ku, pada maqom sholatku, pada sejuknya dawuh kyai Umar yang kerap men ndangu ku dan tentu saja pada Ning Syarifah dimana Allah telah meletakkan cintaku pada dia, sebagaimana cinta zulaikhah pada Yusuf, Fatimah pada Ali, dan khadijah pada Rosulullah. Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi, aku harus ke tempat itu, pesantrenku, Dar al Qur’ani as Salafi.
Setelah beberapa menit aku membatu, mulai ku langkahkan kaki menuju gerbang pesantren, kali ini tanpa ragu aku melangkah, berjalan, dan mencoba untuk berlari membuang semua sakit yang telah empat tahun melekat.
Aku sampai, inilah  saatnya, dalam hati aku berdo’a “Ya Allah, jadikan aku pragmatis saja !!”, agar aku tidak berlarut larut dengan perasaanku, agar ketika mereka semua melihat ku tak nampak  guratan kesedihan di diriku”.
Aku telah berada di depan gerbang pesantren, tiba-tiba ada yang mengucap salam padaku, entah siapa yang ada di belakangku itu yang jelas aku sangat tak asing dengan suara itu. Aku membalikkan tubuh sembari menjawab salam orang itu.  Aku terdiam tak mampu melanjutkan kata-kataku setelah kutatap mata orang yang menyalamiku itu, tak salah lagi, dia Fakar, sahabatku, orang yang menularkan  sifat adiktif dalam menuntut ilmu, adiktif dalam meng Up Grade pikiran lewat diskusi, dia pula yang membuatku hampir sadar kala masalah empat tahun lalu yang membuatku frustasi dan memilih untuk mati.
 “hai orang gila !”, kata fakar menyapku. Aku masih menatap matanya yang dipenuhi air saat dia kembali menyapaku dengan sebutan “Gila”, empat kali dia meyapa dengan kalimat yang sama padaku. Aku tak sanggup lagi menatap matanya, aku menunduk, pasrah, semisal fakar saat itu mau menikam jantungku dengan belati aku pastikan untuk rela. Tiba-tiba dengan sangat erat fakar mendekap erat tubuhku, sangat erat hingga aku agak sulit bernafas. Akupun tak mau ketinggalan dengan momen ini, kudekap tubuh Fakar lebih erat, kami tak kuasa menahan haru, air mata yang telah mengendap selama empat tahun, yang menunggu saat tepat untuk menjebol kelopak mata. Saat ini.
“kemana saja kamu chal ?, apa kau tak menggunakan akal sehatmu ketika memutuskan untuk pergi?. Dalam dekapan, Fakar masih saja memberondongku dengan pertanyaan yang sudah ku perkirakan sebelumnya.
Allahu akbar, Allahu akbar...., Gema azan masjid pondok seolah melerai kami.
Kar !, tenanglah !, aku akan menjelaskan semuanya !, kataku padanya. Akupun membuat beberapa ungkapan sederhana agar fakar mau mengerti.
“Baiklah, mari kerumahku !”. Pinta Fakar padaku. Sepertinya dia paham dengan kondisiku yang tengah lelah ini.
Sesampainya di rumah Fakar.
 “Ummi !, kita kedatangan tamu” ucap fakar pada sosok perempuan yang juga tak asing bagiku.
“Masya allah !, Ichal.. ?, mari masuk !” ucap Intan yang terlebih dahulu melihatku. Tak ubahnya dengan Fakar, Intanpun terkejut melihatku.
 “Iya Intan, terima kasih !”. kata ku sembari melempar senyum padanya, meski tak semanis senyum yang kulempar pada Dinda sore tadi.
Di rumah Fakar kami menjalankan sholat magrib berjamaah, berzikir bersama, berdo’a bersama dengan alunan kata dan nada indah yang dipanjatkan Fakar pada Tuhan tercinta, Allah Subhanahu wa ta’ala. Aku kembali tak kuasa menahan lelehan air mata kala  Fakar memanjatkan do’a. Dalam hati aku berkata “beruntung sekali Fakar memiliki Intan di sisinya, mereka memang setaraf, termasuk kecerdasan Spiritual dan Intelektualnya ! tapi seingat ku dulu mereka saling musuhan, saingan, olok-olokkan dan prilaku seolah Enemy forever, tapi sekarang mereka suami-istri. “Hah, engkau memang sutradara hebat Tuhan” kataku menutup penasaran hati.
“Abiii !”. kali ini muncul sosok imut yang memanggil Fakar dengan panggilan Abi. Eh,,, adek udah pulang?. Kata Fakar dan Intan bersamaan. “Ya ummi, tadi ustad iqbal pelgi, jadi ngajinya libul.  Dengan nada celat anak itu berkata pada Fakar dan Intan.
Ini anak mu kar? tanyaku pada Fakar.
“Ya, namanya Zahratul qolbi” jawab Fakar.
Lengkap sudah kebahagiaan keluarga ini dengan hadirnya sosok Zahra di antara mereka. Aku senang sekali mengetahui sahabatku telah menemukan Qurrota ‘ain nya.
“Wah !, pastinya Ning Syarifah juga sekarang telah memiliki momongan ya?” Kata ku mengawali, menampakkan tingkah seolah tak pernah terjadi apa-apa padaku dan Ning Syarifah empat tahun lalu. Aneh, mereka berdua lantas memasang wajah muram, menarik nafas panjang, dan nampak air dimata Intan saat mendengar ucapanku.
“Baiklah chal !, sepertinya kamu memang benar-benar tidak tau”. Kata-kata Fakar membuatku linglung.
 “Apa sebenarnya yang terjadi setelah kepergianku dulu? Tanyaku penasaran.
“Aku tau, kau pergi dengan membawa luka, membawa hinaan dari orang yang yang kita kagumi, membawa cinta yang tengah bersemi untuk kau gugurkan” kata Fakar mengingatkan ku.
“Tapi apakah kau tau, kepergianmu menyisakan luka, yang meski ribuan tabib mengatasinya takkan berarti apa-apa.
“Apa maksudmu kar?” Tanyaku semakin penasaran. Pikiran mulai berspekulasi dalam memprediksi apa yang akan di ucapkan Fakar setelah ini.
“Seminggu sebelum hari pernikahan Ning Syarifah dengan Gus Ikhsan putra Kyai Ali, Ning Syarifah mengurung diri di kamar, ia tidak mau makan, padahal ia punya penyakit mag akut. Saat sakit ia tidak mau makan sedikitpun dan ia tidak mau minum obat, ia bahkan tidak berbicara sedikitpun, ia tidak mengerang sedikitpun meski ia merasakan sakit yang luar biasa diperutnya. Tidak sedikitpun terpancar sorot untuk bisa sembuh dimatanya, ia seperti orang gila, menatap kosong, penuh harap seolah ia menunggu sesuatu. Ia menunggumu Chal !.
kalimat terakhir Fakar tadi terdengar seperti tongkat baseball yang dipukulkan pada Gong kuningan, hatiku tersentak, mataku kembali mengalirkan sisa-sisa air mata yang tadi sempat meluap beberapa kali. Aku menarik nafas panjang, panjang sekali, seolah aku tak ingin mengeluarkan nafasku sebelum selesai mendengar penjelasan dari Fakar.
“Tau kah kau apa yang terjadi pada Ning Syarifah dihari dimana seharusnya ia menikah?.
Pikiran liarku mulai berspekulasi tentang hal yang terjadi dihari pernikahan Ning Syarifah. Tapi sesegera mungkin kutepis, karena spekulasi yang kuterima dari pikiran liarku terlalu jauh diluar dugaan.
“Apa yang terjadi pada Nung Syarifah Kar?” kataku sambil menggoyang bahu Fakar. Tapi Fakar malah membisu, Intan yang sejak tadi mengelap air mata kini juga ikut menunduk dan membisu pula. Si kecil Zahra dengan tatapan Innocence lebih dari Dinda memperhatikan kedua orang tuanya yang saling diam.
“kar !, jangan bilang kalau Ning Syarifah....
Akhirnya kali ini Intan bicara “Ning Syarifah pergi menghadap dzat yang telah menciptakan cintanya”. Seketika itu juga aku menangis sejadi-jadinya. Spekulasi pikiran liar yang sejak tadi terngiang ternyata benar. Aku tak peduli dengan Zahra yang bisa saja takut dengan tangisku, aku tak peduli dengan tetangga yang bisa saja ku ganggu dengan tangisku. Aku tak peduli apapun.
“Sabar..., Ichal !, Istigfar...!, kau bukan orang yang tak paham dengan konsep manusia diciptakan”. Mendengar kalimat Fakar tersebut aku mulai meredam, tapi aku masih tak sanggup bicara, hanya lelehan air mata sebagai menifestasi dari penyesalan hatiku yang mampu aku tunjukkan. Aku teringat wajah Ning Syarifah saat aku pergi, dia seolah sangat rela ketika aku pergi, tapi kenapa..?. ku pikir Ning Syarifah telah melupakanku dan menerima lamaran Gus Ikhsan kataku dalam hati. Aku menyalahkan hatiku yang tak bisa bertahan dan memilih untuk pergi saat dihina kyai Umar dan Nyai Khadijah.
Ah......, sial. Aku menyalahkan persepsi hati yang selalu mendramatisir keadaan hingga membuatku tak tahan saat menghadapi masalah dan memilih lari. Aku mau menyalahkan Allah, tapi aku sadar itu tak akan mengubah apapun.
Kuharap senja kala itu telah merekam semuanya, raut muka orang-orang empat tahun lalu, kata-kata yang menjatuhkanku, keputusasaanku, kepergianku. Hingga senja kala ini, mendengar tangisku, mendengar spekulasi pikiran liarku, mendengar desir hatiku, merekam apa saja yang terucap dari mulut, pikiran dan hatiku. Kuharap senja kala ini menjadi saksi akan kisah tak indahku ini. Kuharap nanti, entah kapan, kan kudapati senja yang merekam semua kisah indahku, di alam lain, alam baka, surga.
Aku memejamkan mata, kembali menarik nafas panjang, mencoba realistis, mencoba menata hati yang beberapa menit lalu telah porak-poranda. Entah, tiba-tiba pikiran liarku tak bisa berspekulasi lagi, hatiku berhenti mengumpat, terdengar “Nging...” dari telingaku dan aku tak tau lagi apa yang terjadi setelah itu.


Kuharap senja kala ini menjadi saksi akan kisah tak indahku ini. Kuharap nanti, entah kapan, kan kudapati senja yang merekam semua kisah indahku, di alam lain, alam baka, surga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Prakerin Peksos

Review Pemberontakan Petani Banten tahun 1888

INSTRUMEN WAWANCARA (ASESSMENT)